Manfaat mengajak anak sibuk di masjid, dengan kesibukan yang positif, sangat besar. Tidak bisa dipungkiri, betapa banyak anak yang semasa kecilnya dijauhkan dari masjid, padahal diajarkan shalat dan membaca Al-Qur'an, ketika dewasa, mereka tidak punya interest sama sekali terhadap masjid.
Beberapa orang pernah mengeluhkan kondisi sebagian kaum muslimin yang acapkali menjauhkan masjid dari anak-anak tanpa sadar, dan menyatakan keprihatinannya, "Sebagian pengurus masjid ada yang jika melihat anak-anak kecil datang ke masjid, dengan cepat mereka mengusirnya secara kasar dengan alasan untuk menjaga kebersihan. Perlakuan seperti itu telah (dapat) menghalangi anak-anak dengan masjid sepanjang hidup mereka."
"Yang terbaik adalah mengarahkan anak-anak dengan cara yang baik, mengingatkan kesalahan mereka dengan cara yang lembut. Anak-anak akan menjadi pemuda pada hari esok dan akan menjadi orang dewasa di kemudian hari. Jika mereka tidak mencintai masjid, tidak mengenalnya, dan tidak terbiasa dengannya, maka mereka tidak akan selalu ikut berjama'ah (shalat di masjid). Para orang tua hendaknya mengajak anak-anak mereka ke masjid agar mereka tumbuh dalam ketaatan kepada Allah."
Sepertinya, kita semua juga prihatin dengan kenyataan tersebut, dimana kita bisa menemukan satu-dua masjid yang dijadikan area bebas anak, dan para penjaga masjid tersebut mengusir anak-anak karena kemungkinan hanya akan membuat gaduh masjid oleh tawa atau tangis atau teriakan mereka.
Ada beberapa ulama yang pernah ditanyai, mengenai kebisingan dan gelak tawa anak-anak kecil di Masjidi, "Hal itu tidak masalah karena sudah tabiat anak-anak suka berbicara. Pada zaman Nabi adapun demikian, Nabi mendengar kebisingan mereka, dan ibu-ibu mereka tidak melarang mereka menghadiri shalat jama’ah bersama Nabi. Itu berarti boleh. Bahkan Nabi run juga mendengar tawa mereka. Ada catatan otentik dari Nabi bahwa Nabi mendengar tawa anak-anak dan Nabi tidak melarangnya."
Selanjutkan ulama tersebut mengatakan, "Keberadaan anak-anak bersama ibu atau bapaknya di masjid sesungguhnya tidak masalah, asalkan ibu atau bapaknya menjaga anak-anaknya dan menempatkannya di posisi yang aman agar tidak mengotori masjid dan mengganggu orang-orang yang shalat. Nabi pernah membawa Umamah bin Zainab binti Rasulullah, cucu beliau, ketika beliau mengimami shalat orang-orang."
Abu Qatadah mengatakan: "Ketika kami sedang duduk-duduk di masjid, Rasulullah muncul kearah kami sambil menggendong Umamah binti Abil Ash, -ibunya adalah Zainab binti Rasulullah, ketika itu Umamah masih kecil (belum disapih) -, beliau menggendongnya di atas pundak, kemudian Rasulullah mengerjakan shalat, sedang Umamah masih di atas pundak beliau, apabila ruku’ beliau meletakkan Umamah, dan apabila berdiri beliau menggendong nya kembali, beliau melakukan yang demikian itu hingga selesai shalatnya. [Sunan Abu Dawud no. 783; Sunan An-Nasa`I no. 704]
Benar sekali, Nabi juga pernah berkhuthbah di masjid, sementara Hasan dan Husain, cucu beliau buah pernikahan 'Ali dan Fathimah, berlarian di dalam masjid di antara para hadirin. Nabi tidak melarang mereka sama sekali. Ketika mereka terjatuh, Nabi sampai berhenti berkhuthbah dan menggendong mereka. Anak-anak sangat besar kemungkinan nanti bisa mengotori masjid bahkan membuat masjid terkena kotoran-kotoran najis, baik kencingnya sendiri, atau mungkin anak-anak itu buang hajat, atau terkena najis di luar masjid.
Memang, ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha mengenai hukum masuknya anak-anak kedalam masjid, sebagaimana dicatat Dr. Huri Yasin Husain Al - Haiti dalam kitabnya Al-Masjid wa Risalatuhu fi Al Islam (Lebanon: Dar Al-Kutub Al -'
'Ilmiyyah, 2007) ;
"Pertama, boleh tanpa terkecuali, baik anak-anak yang sudah agak besar maupun yang masih sangat kecil, baik yang sudah mumayyiz maupun yang belum; pendapat ini diusung sebagian ulama Hanabilah dan sekelompok ulama kontemporer. Kedua, boleh sekaligus makruh; pendapat ini diusung sebagian ulama Syafi’iyah. Ketiga,boleh bagi anak yang sudah mumayyiz tetapi makruh bagi anak yang belum mumayyiz tanpa ada kepentingan mendesak; pendapat ini diusung sebagian ulama Syafi’i dan Hanabilah."
Lebih dari itu, sejarah sudah mencatat dengan tinta emas, peran imperatif masjid bagi kehidupan kaum muslimin bahkan bagi umat nonmuslim. Sangat penting untuk membawa serta anak-anak shalat berjama’ah di masjid, dan masjid dalam Islam adalah tempat bagi pendidikan anak-anak generasi Islam.
Al-Imam Al-Azhary Al-Maliki dalam Jawahir Al-Iklil syarh Mukhtasar Khalil 1/80 (cet. Dar Al-Fikr) berkata, "Diperbolehkan mengajak anak kecil yang tidak suka bermain (saat di masjid), dan mau berhenti saat dicegah. Apabila tetap bermain dan tidak mau dicegah, maka tidak diperbolehkan mengajaknya, berdasarkan hadits (dha'if), “Jauhkan masjid-masjid kalian dari orang gila dan anak kecil."
Al-Imam An-Nawawi As-Syafi'i dalam Al-Majmu Syarh Muhazzab 2/176 (cet. Dar Al-Fikr) berkata,"Al Imam Al-Mutawalli dan lainnya berkata, bahwa membawa masuk hewan ternak, orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz ke dalam masjid hukumnya makruh, karena dikhawatirkan akan mengotorinya. Namun hal itu tidak diharamkan karena sebagaimana disebutkan dalam Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah menggendong Umamah binti Zainab dan berthawaf dengan menaiki unta. Hadis ini pun tidak bisa menghapus kemakruhannya, karena Rasulullah melakukan hal itu dengan tujuan menjelaskan bahwa hal itu diperbolehkan. Maka dari itu, hal tersebut tetap lebih utama bagi Rasulullah. Karena menjelaskan hukum, bagi beliau adalah wajib. "Kita tidak semestinya menjauhkan masjid dari anak-anak dan menjauhkan anak-anak dari masjid. Adapun ulama/fuqaha yang memilih melarang anak-anak masuk masjid adalah karena alasan lain yaitu alasan bahwasanya anak-anak berpotensi menggangu orang shalat dan mengotori masjid. Ketika kita bisa memastikan anak-anak aman dari potensi tersebut, maka kita tidak berdosa bahkan berpahala ketika kita memasukkan anak-anak ke dalam masjid.
Khairuddîn bin Muhammad 'Ali Al-Wanli, penulis produktif yang juga pakar sya'ir dari Damaskus memberikan sebuah anekdot yang diangkat dari kisah nyata, dalam kitabnya Al-Masjid fi Al-Islam hal.369 (Yordania: Al-Maktabah Al-Islamiyyah,1414 H),
"Salah seorang pemilik sekolah dasar khusus melakukan tour, mereka melewati sebuah biara. Para pengawas biara tersebut menyambut mereka dengan hangat dan membagikan permen kepada anak-anak. Pengawas tersebut mengajak anak-anak mengelilingi biara, menjelaskan sejarah dibangunnya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anak-anak. Ketika keluar dari biara, mereka melewati sebuah masjid kampung, bapak guru dengan murid –muridnya ingin melaksanakan shalat. Namun ketika anak-anak masuk ke dalam masjid, pengurus masjid berteriak dan mengusir mereka, “Ini adalah masjid dan bukan tempat bermain anak-anak.".
"Suatu hari Nabi mempercepat shalat Shubuhnya, lalu ditanyakan kepada beliau, "
Wahai Rasulullah, kenapa engkau mempercepat shalat? ”Beliau menjawab, "Aku mendengar tangisan anak kecil, aku mengira bahwa ibunya shalat bersama kita, maka aku ingin ‘melepaskan’ ibunya." [Musnad Ahmad]
Setelah mengutip hadits Abu Qatadah yang sudah disebutkan di awal, disimpulkan, "Begitulah Rasulullah memperlakukan anak-anak di masjid, kita tidak boleh menyentak mereka, menakut-nakuti dan mengeluarkan mereka dari masjid. Itu akan menjauhkan mereka dari shalat dan dari Islam, membiarkan mereka menjadi makanan empuk bagi kerusakan."
Tak jauh berbeda, setelah memaparkan hadits-hadits tentang banyaknya anak kecil yang ada di dalam masjid Nabawi bersama Rasulullah, dalam kitab Ats-Tsamar Al-Mustathab 1/761, Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkomentar, "Boleh memasukkan anak ke masjid-masjid, walaupun mereka masih kecil dan masih tertatih saat berjalan, walaupun ada kemungkinan mereka akan menangis keras, karena Nabi menyetujui hal itu, dan tidak mengingkarinya, bahkan beliau menyariatkan untuk para imam agar meringankan bacaan suratnya bila ada jeritan bayi, karena dikhawatirkan akan memberatkan ibunya. Mungkin saja hikmah dari hal ini adalah untuk membiasakan mereka dalam ketaatan dan menghadiri shalat jamaah, mulai sejak kecil, karena sesungguhnya pemandangan-pemandangan yang mereka lihat dan dengar saat di masjid-seperti: dzikir, bacaan qur'an, takbir, tahmid, dan tasbih-itu memiliki pengaruh yang kuat dalam jiwa mereka, tanpa mereka sadari. Pengaruh tersebut, tidak akan - atau sangat sulit - hilang saat mereka dewasa dan memasuki perjuangan hidup dan gemerlap dunia.
Dan sepertinya Ilmu psikologi modern, menguatkan kenyataan bahwa anak kecil itu bisa dipengaruhi oleh apa yang didengar dan dilihatnya. Adapun anak yang sudah besar, maka terpengaruhnya mereka dengan hal-hal tersebut sangatlah jelas dan tak terbantahkan. Hanya saja bila ada diantara mereka yang bermain dan berlari-lari di masjid, maka wajib bagi bapaknya atau walinya untuk mengambil tindakan (mengingatkan) dan mendidiknya...Atau wajib bagi petugas dan pelayan masjid untuk meminta mereka keluar... Seperti inilah praktek kisah yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir , "Dahulu 'Umar bin Khaththab bila melihat anak-anak bermain di masjid, memukuli mereka dengan pecut, dan setelah Isya' beliau memeriksa masjid, sehingga tidak menyisakan satu anak pun."
Bahkan, pernah terjadi pada masa Rasulullah,di mana para wanita dan anak-anak tertidur di masjid Nabawi menanti pelaksanaan shalat jama’ah.
Aisyah Radhiallohu 'anha mengatakan: Pada suatu malam, Rasulullah pernah mengakhirkan shalat Isya', -itu terjadi ketika Islam belum tersebar luas- . Beliau tidak juga keluar hingga 'Umar berkata, "Para wanita dan anak-anak (yang menunggu di masjid) sudah tertidur." Dan akhirnya beliau keluar dan mengatakan kepada mereka yang berada di masjid, "Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menunggu shalat ini selain kalian." .[Shahih Al-Bukhari no.533; Shahih Muslim no. 1008]
Jadi jangan pernah beranggapan wanita dan anak-anak tidak boleh tidur di masjid, walaupun selama ini yang kita pahami hanya laki-laki yang boleh tidur di masjid. Dan tidurnya anak-anak di masjid bukanlah sebuah aib bagi masjid. Sekali lagi, masjid adalah rumah bagi setiap orang yang bertaqwa.
Asy-Syaikh Fuhaim Mushthafa dalam buku spektakulernya di bidang pendidikan anak bertajuk Minhaj Ath-Thifl Al-Muslim mendaftar sebelas manfaat mendekatkan Anda ke masjid, sebagai berikut :
Jika kita tetap tidak ingin anak-anak mengotori masjid, maka bukankah sangat bijak jika kita menyediakan ruang khusus untuk anak di masjid, baik untuk tempat mereka shalat, atau menyediakan tempat bermain (play ground) di luar masjid, menyediakan perpustakaan khusus anak yang berisi buku-buku dan alat permainan edukatif yang menyenangkan. Ini semua adalah upaya edukatif agar anak-anak selalu dekat dengan masjid sehingga nantinya ketika mereka dewasa, mereka termasuk tujuh golongan yang dinaungi Allah, yaitu orang-orang yang hatinya selalu terkait dengan masjid.
Bukankah kita sangat ingin anak-anak kita menjadi pribadi yang shalih yang sangat mencintai masjid?
Adalah sangat membahagiakan ketika kita melihat anak-anak kita yang awalnya mungkin selalu berbuat gaduh di masjid kemudian berubah menjadi anak yang sangat khusyu'.
'Amr bin Salamah pernah menjadi imam saat ia berumur 7 tahun. Peristiwa yang terjadi pada masa kenabian tersebut dijadikan dasar oleh para ulama, jika ia sah menjadi imam, maka berdiri di mana pun sah (dalam shaf shalat jama'ah). Ini pendapat kebanyakan ulama. Sedangkan menurut Al-Imam Ahmad dan Ibnu Qudamah, anak-anak harus dibariskan di shaf belakang, meskipun jika mereka berdiri bersama laki-laki dewasa,shalat seluruh jamaah tetap sah.
Jadi, mari kita dekatkan masjid kepada anak-anak sehingga mereka mencintai masjid, dan mari kita dekatkan anak-anak kepada masjid sehingga masjid tidak kehilangan calon generasi penerus yang nantinya akan menjaga masjid dari tindak-tanduk bejat orang-orang jahil, dan mempertahankan kelestarian masjid dan keagungannya.
Beberapa orang pernah mengeluhkan kondisi sebagian kaum muslimin yang acapkali menjauhkan masjid dari anak-anak tanpa sadar, dan menyatakan keprihatinannya, "Sebagian pengurus masjid ada yang jika melihat anak-anak kecil datang ke masjid, dengan cepat mereka mengusirnya secara kasar dengan alasan untuk menjaga kebersihan. Perlakuan seperti itu telah (dapat) menghalangi anak-anak dengan masjid sepanjang hidup mereka."
"Yang terbaik adalah mengarahkan anak-anak dengan cara yang baik, mengingatkan kesalahan mereka dengan cara yang lembut. Anak-anak akan menjadi pemuda pada hari esok dan akan menjadi orang dewasa di kemudian hari. Jika mereka tidak mencintai masjid, tidak mengenalnya, dan tidak terbiasa dengannya, maka mereka tidak akan selalu ikut berjama'ah (shalat di masjid). Para orang tua hendaknya mengajak anak-anak mereka ke masjid agar mereka tumbuh dalam ketaatan kepada Allah."
Sepertinya, kita semua juga prihatin dengan kenyataan tersebut, dimana kita bisa menemukan satu-dua masjid yang dijadikan area bebas anak, dan para penjaga masjid tersebut mengusir anak-anak karena kemungkinan hanya akan membuat gaduh masjid oleh tawa atau tangis atau teriakan mereka.
Ada beberapa ulama yang pernah ditanyai, mengenai kebisingan dan gelak tawa anak-anak kecil di Masjidi, "Hal itu tidak masalah karena sudah tabiat anak-anak suka berbicara. Pada zaman Nabi adapun demikian, Nabi mendengar kebisingan mereka, dan ibu-ibu mereka tidak melarang mereka menghadiri shalat jama’ah bersama Nabi. Itu berarti boleh. Bahkan Nabi run juga mendengar tawa mereka. Ada catatan otentik dari Nabi bahwa Nabi mendengar tawa anak-anak dan Nabi tidak melarangnya."
Selanjutkan ulama tersebut mengatakan, "Keberadaan anak-anak bersama ibu atau bapaknya di masjid sesungguhnya tidak masalah, asalkan ibu atau bapaknya menjaga anak-anaknya dan menempatkannya di posisi yang aman agar tidak mengotori masjid dan mengganggu orang-orang yang shalat. Nabi pernah membawa Umamah bin Zainab binti Rasulullah, cucu beliau, ketika beliau mengimami shalat orang-orang."
Abu Qatadah mengatakan: "Ketika kami sedang duduk-duduk di masjid, Rasulullah muncul kearah kami sambil menggendong Umamah binti Abil Ash, -ibunya adalah Zainab binti Rasulullah, ketika itu Umamah masih kecil (belum disapih) -, beliau menggendongnya di atas pundak, kemudian Rasulullah mengerjakan shalat, sedang Umamah masih di atas pundak beliau, apabila ruku’ beliau meletakkan Umamah, dan apabila berdiri beliau menggendong nya kembali, beliau melakukan yang demikian itu hingga selesai shalatnya. [Sunan Abu Dawud no. 783; Sunan An-Nasa`I no. 704]
Benar sekali, Nabi juga pernah berkhuthbah di masjid, sementara Hasan dan Husain, cucu beliau buah pernikahan 'Ali dan Fathimah, berlarian di dalam masjid di antara para hadirin. Nabi tidak melarang mereka sama sekali. Ketika mereka terjatuh, Nabi sampai berhenti berkhuthbah dan menggendong mereka. Anak-anak sangat besar kemungkinan nanti bisa mengotori masjid bahkan membuat masjid terkena kotoran-kotoran najis, baik kencingnya sendiri, atau mungkin anak-anak itu buang hajat, atau terkena najis di luar masjid.
Memang, ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha mengenai hukum masuknya anak-anak kedalam masjid, sebagaimana dicatat Dr. Huri Yasin Husain Al - Haiti dalam kitabnya Al-Masjid wa Risalatuhu fi Al Islam (Lebanon: Dar Al-Kutub Al -'
'Ilmiyyah, 2007) ;
"Pertama, boleh tanpa terkecuali, baik anak-anak yang sudah agak besar maupun yang masih sangat kecil, baik yang sudah mumayyiz maupun yang belum; pendapat ini diusung sebagian ulama Hanabilah dan sekelompok ulama kontemporer. Kedua, boleh sekaligus makruh; pendapat ini diusung sebagian ulama Syafi’iyah. Ketiga,boleh bagi anak yang sudah mumayyiz tetapi makruh bagi anak yang belum mumayyiz tanpa ada kepentingan mendesak; pendapat ini diusung sebagian ulama Syafi’i dan Hanabilah."
Lebih dari itu, sejarah sudah mencatat dengan tinta emas, peran imperatif masjid bagi kehidupan kaum muslimin bahkan bagi umat nonmuslim. Sangat penting untuk membawa serta anak-anak shalat berjama’ah di masjid, dan masjid dalam Islam adalah tempat bagi pendidikan anak-anak generasi Islam.
Al-Imam Al-Azhary Al-Maliki dalam Jawahir Al-Iklil syarh Mukhtasar Khalil 1/80 (cet. Dar Al-Fikr) berkata, "Diperbolehkan mengajak anak kecil yang tidak suka bermain (saat di masjid), dan mau berhenti saat dicegah. Apabila tetap bermain dan tidak mau dicegah, maka tidak diperbolehkan mengajaknya, berdasarkan hadits (dha'if), “Jauhkan masjid-masjid kalian dari orang gila dan anak kecil."
Al-Imam An-Nawawi As-Syafi'i dalam Al-Majmu Syarh Muhazzab 2/176 (cet. Dar Al-Fikr) berkata,"Al Imam Al-Mutawalli dan lainnya berkata, bahwa membawa masuk hewan ternak, orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz ke dalam masjid hukumnya makruh, karena dikhawatirkan akan mengotorinya. Namun hal itu tidak diharamkan karena sebagaimana disebutkan dalam Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah menggendong Umamah binti Zainab dan berthawaf dengan menaiki unta. Hadis ini pun tidak bisa menghapus kemakruhannya, karena Rasulullah melakukan hal itu dengan tujuan menjelaskan bahwa hal itu diperbolehkan. Maka dari itu, hal tersebut tetap lebih utama bagi Rasulullah. Karena menjelaskan hukum, bagi beliau adalah wajib. "Kita tidak semestinya menjauhkan masjid dari anak-anak dan menjauhkan anak-anak dari masjid. Adapun ulama/fuqaha yang memilih melarang anak-anak masuk masjid adalah karena alasan lain yaitu alasan bahwasanya anak-anak berpotensi menggangu orang shalat dan mengotori masjid. Ketika kita bisa memastikan anak-anak aman dari potensi tersebut, maka kita tidak berdosa bahkan berpahala ketika kita memasukkan anak-anak ke dalam masjid.
Khairuddîn bin Muhammad 'Ali Al-Wanli, penulis produktif yang juga pakar sya'ir dari Damaskus memberikan sebuah anekdot yang diangkat dari kisah nyata, dalam kitabnya Al-Masjid fi Al-Islam hal.369 (Yordania: Al-Maktabah Al-Islamiyyah,1414 H),
"Salah seorang pemilik sekolah dasar khusus melakukan tour, mereka melewati sebuah biara. Para pengawas biara tersebut menyambut mereka dengan hangat dan membagikan permen kepada anak-anak. Pengawas tersebut mengajak anak-anak mengelilingi biara, menjelaskan sejarah dibangunnya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anak-anak. Ketika keluar dari biara, mereka melewati sebuah masjid kampung, bapak guru dengan murid –muridnya ingin melaksanakan shalat. Namun ketika anak-anak masuk ke dalam masjid, pengurus masjid berteriak dan mengusir mereka, “Ini adalah masjid dan bukan tempat bermain anak-anak.".
"Suatu hari Nabi mempercepat shalat Shubuhnya, lalu ditanyakan kepada beliau, "
Wahai Rasulullah, kenapa engkau mempercepat shalat? ”Beliau menjawab, "Aku mendengar tangisan anak kecil, aku mengira bahwa ibunya shalat bersama kita, maka aku ingin ‘melepaskan’ ibunya." [Musnad Ahmad]
Setelah mengutip hadits Abu Qatadah yang sudah disebutkan di awal, disimpulkan, "Begitulah Rasulullah memperlakukan anak-anak di masjid, kita tidak boleh menyentak mereka, menakut-nakuti dan mengeluarkan mereka dari masjid. Itu akan menjauhkan mereka dari shalat dan dari Islam, membiarkan mereka menjadi makanan empuk bagi kerusakan."
Tak jauh berbeda, setelah memaparkan hadits-hadits tentang banyaknya anak kecil yang ada di dalam masjid Nabawi bersama Rasulullah, dalam kitab Ats-Tsamar Al-Mustathab 1/761, Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkomentar, "Boleh memasukkan anak ke masjid-masjid, walaupun mereka masih kecil dan masih tertatih saat berjalan, walaupun ada kemungkinan mereka akan menangis keras, karena Nabi menyetujui hal itu, dan tidak mengingkarinya, bahkan beliau menyariatkan untuk para imam agar meringankan bacaan suratnya bila ada jeritan bayi, karena dikhawatirkan akan memberatkan ibunya. Mungkin saja hikmah dari hal ini adalah untuk membiasakan mereka dalam ketaatan dan menghadiri shalat jamaah, mulai sejak kecil, karena sesungguhnya pemandangan-pemandangan yang mereka lihat dan dengar saat di masjid-seperti: dzikir, bacaan qur'an, takbir, tahmid, dan tasbih-itu memiliki pengaruh yang kuat dalam jiwa mereka, tanpa mereka sadari. Pengaruh tersebut, tidak akan - atau sangat sulit - hilang saat mereka dewasa dan memasuki perjuangan hidup dan gemerlap dunia.
Dan sepertinya Ilmu psikologi modern, menguatkan kenyataan bahwa anak kecil itu bisa dipengaruhi oleh apa yang didengar dan dilihatnya. Adapun anak yang sudah besar, maka terpengaruhnya mereka dengan hal-hal tersebut sangatlah jelas dan tak terbantahkan. Hanya saja bila ada diantara mereka yang bermain dan berlari-lari di masjid, maka wajib bagi bapaknya atau walinya untuk mengambil tindakan (mengingatkan) dan mendidiknya...Atau wajib bagi petugas dan pelayan masjid untuk meminta mereka keluar... Seperti inilah praktek kisah yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir , "Dahulu 'Umar bin Khaththab bila melihat anak-anak bermain di masjid, memukuli mereka dengan pecut, dan setelah Isya' beliau memeriksa masjid, sehingga tidak menyisakan satu anak pun."
Bahkan, pernah terjadi pada masa Rasulullah,di mana para wanita dan anak-anak tertidur di masjid Nabawi menanti pelaksanaan shalat jama’ah.
Aisyah Radhiallohu 'anha mengatakan: Pada suatu malam, Rasulullah pernah mengakhirkan shalat Isya', -itu terjadi ketika Islam belum tersebar luas- . Beliau tidak juga keluar hingga 'Umar berkata, "Para wanita dan anak-anak (yang menunggu di masjid) sudah tertidur." Dan akhirnya beliau keluar dan mengatakan kepada mereka yang berada di masjid, "Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menunggu shalat ini selain kalian." .[Shahih Al-Bukhari no.533; Shahih Muslim no. 1008]
Jadi jangan pernah beranggapan wanita dan anak-anak tidak boleh tidur di masjid, walaupun selama ini yang kita pahami hanya laki-laki yang boleh tidur di masjid. Dan tidurnya anak-anak di masjid bukanlah sebuah aib bagi masjid. Sekali lagi, masjid adalah rumah bagi setiap orang yang bertaqwa.
Asy-Syaikh Fuhaim Mushthafa dalam buku spektakulernya di bidang pendidikan anak bertajuk Minhaj Ath-Thifl Al-Muslim mendaftar sebelas manfaat mendekatkan Anda ke masjid, sebagai berikut :
- Menjelaskan kepada anak bahwa dia akan mendapat kesenangan batin ketika melaksanakan syiar-syiar Islam di dalam masjid.
- Melatih anak untuk selalu mengunjungi masjids secara teratur.
- Melatih anak agar menjaga sopan santun ketika mendatangi masjid dan mengerjakan shalat didalamnya. Juga melatihnya agar menghormati orang-orang yang mengerjakan shalat berjamaah bersamanya.
- Memperkuat hubungan ikatannya dengan kaum muslimin yang lainnya melalui keberadaannya dan kunjungannya yang terus menerus terhadap masjid.
- Melatih anak selalu mempraktekkan tingkah laku yang lurus dan mulia seperti mengucapkan salam, bertindak hormat, berbicara dan berdialog dengan sopan terhadap jamaah yang shalat di dalam masjid.
- Mempererat hubungan anak dengan jamaah kaum muslimin. Inilah salah satu tujuan shalat berjamaah yaitu mewujudkan ruh bermasyarakat yang tinggi setiap individunya.
- Selalu menanyakan kaum muslimin yang tidak hadir, selalu mengunjungi mereka yang sakit, dan lain sebagainya dari perbuatan-perbuatan mulia yang disukai.
- Menumbuhkan ruh berjamaah, bekerja sama, saling mengunjungi, dan saling mencintai diantara sesama.
- Melatih anak selalu memelihara masjid dan barang-barang yang ada didalamnya, serta tidak merusak masjid atau mengganggu orang-orang shalat di dalamnya.
- Membiasakan anak selalu berinisiatif dan berjiwa sosial sesuai ajaran Islam, seperti, membagi-bagi shadaqah, zakat mal, zakat fitrah, dan amal-amal sosial lainnya yang sangat bermanfaat bagi kehidupan sosial manusia.
- Membiasakan anak selalu melayani orang-orang yang shalat. Juga membiasakannya dengan perbuatan-perbuatan lain yang menanamkan rasa tawadhu’ (rendah diri) dan cinta beramal secara ikhlas di jalan Allah.
Jika kita tetap tidak ingin anak-anak mengotori masjid, maka bukankah sangat bijak jika kita menyediakan ruang khusus untuk anak di masjid, baik untuk tempat mereka shalat, atau menyediakan tempat bermain (play ground) di luar masjid, menyediakan perpustakaan khusus anak yang berisi buku-buku dan alat permainan edukatif yang menyenangkan. Ini semua adalah upaya edukatif agar anak-anak selalu dekat dengan masjid sehingga nantinya ketika mereka dewasa, mereka termasuk tujuh golongan yang dinaungi Allah, yaitu orang-orang yang hatinya selalu terkait dengan masjid.
Bukankah kita sangat ingin anak-anak kita menjadi pribadi yang shalih yang sangat mencintai masjid?
Adalah sangat membahagiakan ketika kita melihat anak-anak kita yang awalnya mungkin selalu berbuat gaduh di masjid kemudian berubah menjadi anak yang sangat khusyu'.
'Amr bin Salamah pernah menjadi imam saat ia berumur 7 tahun. Peristiwa yang terjadi pada masa kenabian tersebut dijadikan dasar oleh para ulama, jika ia sah menjadi imam, maka berdiri di mana pun sah (dalam shaf shalat jama'ah). Ini pendapat kebanyakan ulama. Sedangkan menurut Al-Imam Ahmad dan Ibnu Qudamah, anak-anak harus dibariskan di shaf belakang, meskipun jika mereka berdiri bersama laki-laki dewasa,shalat seluruh jamaah tetap sah.
Jadi, mari kita dekatkan masjid kepada anak-anak sehingga mereka mencintai masjid, dan mari kita dekatkan anak-anak kepada masjid sehingga masjid tidak kehilangan calon generasi penerus yang nantinya akan menjaga masjid dari tindak-tanduk bejat orang-orang jahil, dan mempertahankan kelestarian masjid dan keagungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar